Kuliah Ke II
A.SEJARAH SINGKAT FILSAFAT
Sejarah filsafat dapat diperiodisasi ke
dalam empat periode (Sudarto. 1996) yaitu :
1. Tahap/masa Yunani kuno
(Abad ke-6 S.M sampai akhir abad ke-3 S.M)
2. Tahap/masa Abad Pertengahan
(akhir abad ke-3 S.M sampai awal abad ke-15 Masehi)
3. Tahap/masa Modern
(akhir abad ke-15 M sampai abad ke-19 Masehi)
4. Tahap/masa dewasa ini/filsafat
kontemporer (abad ke-20 Masehi)
K.Bertens:Ringkasan
Sejarah Filsafat (1976) menyusun topik-topik pembahasan.
1.
Masa Purba Yunani
2.
Masa Patristik dan Abad pertengahan
3.
Masa Modern
Susane
K. Langer :(Donny Gahral Adian, 2002) yang membagi
sejarah filsafat ke dalam enam tahapan yaitu :
1.
Yunani Kuno (+ 600 SM)
2.
Filsuf-filsuf Manusia Yunani
3.
Abad Pertengahan (300 SM –1300M)
4.
Filsafat Modern (17-19 M)
5.
Positivisme (Abad 20 M)
6.
Alam Simbolis
Gahral
Adian: menambahkan kepada enam tahapan tersebut
dengan satu tahapan lagi yaitu Post
Modernisme. Meskipun terdapat perbedaan dalam periodisasi sejarah filsafat,
namun semua itu nampaknya lebih menunjukan perincian dengan menggunakan sifat
pemikiran serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.
Pada
perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran tentang Alam, para akhli fikir
Yunani pun banyak yang berupaya
memikirkan tentang hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir
lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya
mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf terkenal yang banyak
mencurahkan perhatiannya pada kehidupan manusia adalah Socrates (470-399 S.M), dia
sangat menentang ajaran
kaum Sofis
Yang cenderung
mempermainkan kebenaran,
Socrates berusaha
meyakinkan bahwa
kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang
Kaum Sofis adalah
golongan yang tidak lagi memikirkan alam, malainkan melatih kemahiran manusia
dalam berpidato, berargumentasi untuk mempertahankan kebenaran, akan tetapi
bagi mereka kebenaran itu sifatnya relatif tergantung kemampuan berargumentasi.
Salah seorang tokohnya adalah Protagoras yang berpendapat
bahwa Man is the measure of all things
Sesudah Socrates meninggal, filsafat Yunani terus berkembang
dengan Tokohnya Plato (427-347 S.M), salah seorang murid Socrates.
Diantara pemikiran Plato yang penting adalah berkaitan dengan pembagian relaitas ke dalam
dua bagian yaitu realitas/dunia yang hanya terbuka bagi rasio, dan dunia yang
terbuka bagi pancaindra, dunia pertama terdiri dari idea-idea, dan dunia ke dua
adalah dunia jasmani (pancaindra), dunia ide sifatnya sempurna dan tetap,
sedangkan dunia jasmani selalu berubah. Dengan pendapatnya tersebut, menurut Kees
Berten (1976), Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Herakleitos dengan
pendapatnya Permenides, menurut Herakleitos segala sesuatu selalu berubah, ini
benar kata Plato, tapi hanya bagi dunia Jasmani (Pancaindra), sementara
menurut Permenides segala sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah,
ini juga benar kata Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja.
Dalam sejarah Filsafat Yunani, terdapat
seorang filsuf yang sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M),
seorang yang pernah belajar di Akademia Plato di Athena. Setelah Plato
meninggal Aristoteles menjadi guru pribadinya Alexander Agung selama dua
tahun, sesudah itu dia kembali lagi ke Athena dan mendirikan Lykeion,
dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Plato meskipun dalam filsafat,
Aristoteles mengambil jalan yang berbeda
Aristoteles
mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum
dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu
sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi,
Morphe = bentuk), menurut teori ini,
setiap benda jasmani memiliki dua hal
yaitu bentuk dan materi, sebagai contoh, sebuah patung pasti memiliki
dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau batu, dan bentuk
misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu
sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam
pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip
metafisika untuk memperkukuh dimingkinkannya Ilmu pengetahuan atas dasar bentuk
dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi
pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari materi dan bentuk, bentuk
adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka
konsekwensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga akan hancur.
Disamping pendapat tersebut Aristoteles
juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu cara berpikir yang teratur
menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab akibat. Dia adalah
yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur dalam suatu sistem, yang intisarinya adalah Sylogisme
(masalah ini akan diuraikan khusus dalam topik Logika) yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan umum atas hal yang
khusus (Mohammad Hatta, 1964).
Abad Pertengahan.
Semenjak meninggalnya Aristoteles, filsafat terus berkembang dan mendapat
kedudukan yang tetap penting dalam kehidupan pemikiran manusia meskipun dengan
corak dan titik tekan yang berbeda. Periode sejak meninggalnya Aristoteles
(atau sesudah meninggalnya Alexander Agung (323 S.M) sampai menjelang lahirnya
Agama Kristen oleh Droysen (Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode
Hellenistik (Hellenisme adalah istilah yang menunjukan kebudayaan gabungan
antara budaya Yunani dan Asia Kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir Kuno).
Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian pada hal yang
lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan semangat yang
Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan)
dan bercorak Mistik.
Menurut
A. Epping. at al (1983),
ciri manusia (pemikiran filsafat) abad pertengahan adalah :
1.Ciri berfilsafatnya dipimpin oleh Gereja
2.Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran
Aristoteles
3.berfilsafat dengan pertolongan
Augustinus
Filsafat cenderung kehilangan otonominya,
pemikiran filsafat abad pertengahan bercirikan Teosentris (kebenaran
berpusat pada wahyu Tuhan), hal ini tidak mengherankan mengingat pada masa ini
pengaruh Agama Kristen sangat besar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam
bidang pemikiran.
Filsafat abad pertengahan sering juga
disebut filsafat scholastik, yakni filsafat yang mempunyai corak
semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi. Pada masa ini memang
terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara pemikiran Rasional
(terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu Tuhan sehingga dapat
dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan akal. Keadaan ini pun
terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat ajaran Islam dengan sudut
pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya
pengaruh pemikiran-pemikiran ahli filsafat Yunani/hellenisme dalam dunia
pemikiran saat itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan landasan
filosofisnya agar menjadi suatu keyakinan yang rasional.
Pemikiran-pemikiran yang mencoba melihat
Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia Islam maupun Kristen,
sehingga para ahli mengelompokan filsafat skolastik ke dalam filsafat skolastik
Islam dan filsafat skolastik Kristen.
Di dunia Islam (Umat Islam) lahir
filsuf-filsuf terkenal seperti Al Kindi (801-865 M), Al Farabi (870-950 M), Ibnu Sina
(980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd
(1126-1198), sementara itu di dunia Kristen lahir Filsuf-filsuf antara lain seperti Peter Abelardus (1079-1180), Albertus
Magnus (1203-1280 M), dan Thomas Aquinas (1225-1274).
Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga orang-orang yang mendalami ajaran
agamanya masing-masing, sehingga corak pemikirannya mengacu pada upaya
mempertahankan keyakinan agama dengan jalan filosofis, meskipun dalam banyak
hal terkadang ajaran Agama dijadikan Hakim untuk memfonis benar tidaknya suatu
hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran Rasional).
Masa Modern. Pada masa ini pemikiran filosofis seperti
dilahirkan kembali dimana sebelumnya dominasi gereja sangat dominan yang
berakibat pada upaya mensinkronkan antara ajaran gereja dengan pemikiran
filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai zaman modern dengan salah seorang
pelopornya adalah Descartes, dia
berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi kembali rasio yang sebelumnya
hanya menjadi budak keimanan.
Pemikiran Desacartes (1596-1650) yang penting adalah diktum kesangsian,
dengan mengatakan Cogito ergo sum,
yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada. Dengan ungkapan ini posisi
rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi semakin kuat, ajarannya punya
pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, segala sesuatu
bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir menguatkan kepada kepastian.
Argumen Descartes (rasionalisme) mendapat
tantangan keras dari para filosof penganut Empirisme seperti David Hume
(1711-1776), John Locke (1632-1704). Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya
didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut
terus berlanjut sampai muncul Immanuel Kant (1724-1804) yang berhasil membuat
sintesis antara rasionalisme dengan empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh
sentral dalam zaman modern dengan pernyataannya yang terkenal sapere aude(berani berfikir sendiri),
pernyataan ini jelas makin mendorong upaya-upaya berfikir manusia tanpa perlu
takut terhadap kekangan dari Gereja.
Pandangan empirisme semakin kuat
pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah munculnya pandangan August
Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah
tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan
alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan
Positif
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa
memahami hal-hal yang berkaitan dengan
sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu
perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan
adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri
dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap
politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu
variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan
ini manusia mulai menemukan keberanian
dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan
memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive).
Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai
alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir
berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi
kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih
percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan
ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek
yang diketahui) alam serta
memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana
manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti
dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan
ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan
positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang
rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat
yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu
yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu
yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar
siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai
gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala
tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan
hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena
benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
Pengaruh
positivisme yang sangat besar dalam zaman modern sampai sekarang ini, telah
mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang
narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel
Bell dalam bukunya The cultural
contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa
etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi
telah berubah menjadi hedonis konsumeristis.
Postmodernisme
pada dasarnya merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi
universal serta kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih memberikan tempat
pada narasi-narasi kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada
keberagaman dalam memaknai kehidupan.
Sejarah filsafat dapat diperiodisasi ke
dalam empat periode (Sudarto. 1996) yaitu :
5. Tahap/masa Yunani kuno
(Abad ke-6 S.M sampai akhir abad ke-3 S.M)
6. Tahap/masa Abad Pertengahan
(akhir abad ke-3 S.M sampai awal abad ke-15 Masehi)
7. Tahap/masa Modern
(akhir abad ke-15 M sampai abad ke-19 Masehi)
8. Tahap/masa dewasa ini/filsafat
kontemporer (abad ke-20 Masehi)
K.Bertens:Ringkasan
Sejarah Filsafat (1976) menyusun topik-topik pembahasan.
4.
Masa Purba Yunani
5.
Masa Patristik dan Abad pertengahan
6.
Masa Modern
Susane
K. Langer :(Donny Gahral Adian, 2002) yang membagi
sejarah filsafat ke dalam enam tahapan yaitu :
7.
Yunani Kuno (+ 600 SM)
8.
Filsuf-filsuf Manusia Yunani
9.
Abad Pertengahan (300 SM –1300M)
10. Filsafat
Modern (17-19 M)
11. Positivisme
(Abad 20 M)
12. Alam
Simbolis
Gahral
Adian: menambahkan kepada enam tahapan tersebut
dengan satu tahapan lagi yaitu Post
Modernisme. Meskipun terdapat perbedaan dalam periodisasi sejarah
filsafat, namun semua itu nampaknya lebih menunjukan perincian dengan
menggunakan sifat pemikiran serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.
Pada
perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran tentang Alam, para akhli fikir
Yunani pun banyak yang berupaya
memikirkan tentang hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir
lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya
mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf terkenal yang banyak
mencurahkan perhatiannya pada kehidupan manusia adalah Socrates (470-399 S.M), dia
sangat menentang ajaran
kaum Sofis
Yang cenderung
mempermainkan kebenaran,
Socrates berusaha
meyakinkan bahwa
kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang
Sesudah Socrates meninggal, filsafat Yunani terus berkembang
dengan Tokohnya Plato (427-347 S.M), salah seorang murid Socrates. Diantara
pemikiran Plato yang penting adalah
berkaitan dengan pembagian relaitas ke dalam dua bagian yaitu
realitas/dunia yang hanya terbuka bagi rasio, dan dunia yang terbuka bagi
pancaindra, dunia pertama terdiri dari idea-idea, dan dunia ke dua adalah dunia
jasmani (pancaindra), dunia ide sifatnya sempurna dan tetap, sedangkan dunia
jasmani selalu berubah. Dengan pendapatnya tersebut, menurut Kees Berten
(1976), Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Herakleitos dengan pendapatnya
Permenides, menurut Herakleitos segala sesuatu selalu berubah, ini benar kata
Plato, tapi hanya bagi dunia Jasmani (Pancaindra), sementara menurut
Permenides segala sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah, ini
juga benar kata Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja.
Dalam sejarah Filsafat Yunani, terdapat
seorang filsuf yang sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M),
seorang yang pernah belajar di Akademia Plato di Athena. Setelah Plato
meninggal Aristoteles menjadi guru pribadinya Alexander Agung selama dua
tahun, sesudah itu dia kembali lagi ke Athena dan mendirikan Lykeion,
dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Plato meskipun dalam filsafat,
Aristoteles mengambil jalan yang berbeda
Aristoteles
mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum
dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu
sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi,
Morphe = bentuk), menurut teori ini,
setiap benda jasmani memiliki dua hal
yaitu bentuk dan materi, sebagai contoh, sebuah patung pasti memiliki
dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau batu, dan bentuk
misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu
sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam
pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip
metafisika untuk memperkukuh dimingkinkannya Ilmu pengetahuan atas dasar bentuk
dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi
pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari materi dan bentuk, bentuk
adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka
konsekwensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga akan
hancur.
Disamping pendapat tersebut Aristoteles
juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu cara berpikir yang teratur
menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab akibat. Dia adalah
yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur dalam suatu sistem, yang intisarinya adalah Sylogisme
(masalah ini akan diuraikan khusus dalam topik Logika) yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan umum atas hal yang
khusus (Mohammad Hatta, 1964).
Abad Pertengahan.
Semenjak meninggalnya Aristoteles, filsafat terus berkembang dan mendapat
kedudukan yang tetap penting dalam kehidupan pemikiran manusia meskipun dengan
corak dan titik tekan yang berbeda. Periode sejak meninggalnya Aristoteles
(atau sesudah meninggalnya Alexander Agung (323 S.M) sampai menjelang
lahirnya Agama Kristen oleh Droysen (Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode
Hellenistik (Hellenisme adalah istilah yang menunjukan kebudayaan gabungan
antara budaya Yunani dan Asia Kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir Kuno).
Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian pada hal yang
lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan semangat yang
Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan)
dan bercorak Mistik.
Menurut
A. Epping. at al (1983),
ciri manusia (pemikiran filsafat) abad pertengahan adalah :
1.Ciri berfilsafatnya dipimpin oleh Gereja
2.Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran
Aristoteles
3.berfilsafat dengan pertolongan
Augustinus
Filsafat cenderung kehilangan otonominya,
pemikiran filsafat abad pertengahan bercirikan Teosentris (kebenaran
berpusat pada wahyu Tuhan), hal ini tidak mengherankan mengingat pada masa ini
pengaruh Agama Kristen sangat besar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam
bidang pemikiran.
Filsafat abad pertengahan sering juga
disebut filsafat scholastik, yakni filsafat yang mempunyai corak
semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi. Pada masa ini memang
terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara pemikiran Rasional
(terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu Tuhan sehingga dapat
dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan akal. Keadaan ini pun
terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat ajaran Islam dengan sudut
pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya
pengaruh pemikiran-pemikiran ahli filsafat Yunani/hellenisme dalam dunia
pemikiran saat itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan landasan
filosofisnya agar menjadi suatu keyakinan yang rasional.
Pemikiran-pemikiran yang mencoba melihat
Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia Islam maupun Kristen,
sehingga para ahli mengelompokan filsafat skolastik ke dalam filsafat skolastik
Islam dan filsafat skolastik Kristen.
Di dunia Islam (Umat Islam) lahir
filsuf-filsuf terkenal seperti Al Kindi (801-865 M), Al Farabi (870-950 M), Ibnu Sina
(980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd
(1126-1198), sementara itu di dunia Kristen lahir Filsuf-filsuf antara lain
seperti Peter Abelardus
(1079-1180), Albertus Magnus (1203-1280 M), dan Thomas Aquinas
(1225-1274). Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga orang-orang yang
mendalami ajaran agamanya masing-masing, sehingga corak pemikirannya mengacu
pada upaya mempertahankan keyakinan agama dengan jalan filosofis, meskipun
dalam banyak hal terkadang ajaran Agama dijadikan Hakim untuk memfonis benar
tidaknya suatu hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran Rasional).
Masa Modern. Pada masa ini pemikiran filosofis seperti
dilahirkan kembali dimana sebelumnya dominasi gereja sangat dominan yang
berakibat pada upaya mensinkronkan antara ajaran gereja dengan pemikiran
filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai zaman modern dengan salah seorang
pelopornya adalah Descartes, dia
berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi kembali rasio yang sebelumnya
hanya menjadi budak keimanan.
Pemikiran Desacartes (1596-1650) yang penting adalah diktum kesangsian,
dengan mengatakan Cogito ergo sum,
yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada. Dengan ungkapan ini posisi
rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi semakin kuat, ajarannya punya
pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, segala sesuatu
bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir menguatkan kepada kepastian.
Argumen Descartes (rasionalisme) mendapat
tantangan keras dari para filosof penganut Empirisme seperti David Hume
(1711-1776), John Locke (1632-1704). Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya
didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut
terus berlanjut sampai muncul Immanuel Kant (1724-1804) yang berhasil membuat
sintesis antara rasionalisme dengan empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh
sentral dalam zaman modern dengan pernyataannya yang terkenal sapere aude(berani berfikir sendiri), pernyataan
ini jelas makin mendorong upaya-upaya berfikir manusia tanpa perlu takut
terhadap kekangan dari Gereja.
Pandangan empirisme semakin kuat
pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah munculnya pandangan August
Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah
tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan
alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan
Positif
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa
memahami hal-hal yang berkaitan dengan
sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu
perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan
adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini
terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap
politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu
variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan
ini manusia mulai menemukan keberanian
dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan
memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive).
Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai
alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir
berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi
kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih
percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan
ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek
yang diketahui) alam serta
memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana
manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti
dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan
ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan
positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang
rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat
yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu
yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu
yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar
siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai
gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala
tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan
hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena
benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
Pengaruh
positivisme yang sangat besar dalam zaman modern sampai sekarang ini, telah
mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang
narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel
Bell dalam bukunya The cultural
contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa
etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi
telah berubah menjadi hedonis konsumeristis.
Postmodernisme
pada dasarnya merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi
universal serta kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih memberikan tempat
pada narasi-narasi kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada
keberagaman dalam memaknai kehidupan.
B.CIRI-CIRI
FILSAFAT
Bila dilihat dari aktivitasnya filsafat
merupakan suatu cara berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana
syarat-syarat berfikir yang disebut berfilsafat yaitu : a) Berfikir dengan
teliti, dan b) Berfikir menurut aturan
yang pasti.
Dua ciri tersebut menandakan berfikir yang
insaf, dan berfikir yang demikianlah yang disebut berfilsafat. Sementara itu Sidi
Gazalba (1976) menyatakan bahwa ciri ber-Filsafat atau berfikir Filsafat
adalah : radikal, sistematik, dan universal. Radikal
bermakna berfikir sampai ke akar-akarnya (Radix artinya akar), tidak
tanggung-tanggung sampai dengan berbagai konsekwensinya dengan tidak
terbelenggu oleh berbagai pemikiran yang sudah diterima umum,
Sistematik
artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional
dan dapat dipertanggungjawabkan,
Universal
artinya berfikir secara menyeluruh tidak pada bagian-bagian khusus yang
sifatnya terbatas.
Sementara
itu Sudarto (1996) :
ciri-ciri berfikir Filsafat adalah :
a. Metodis
: menggunakan metode, cara, yang lazim digunakan oleh filsuf (akhli filsafat)
dalam proses berfikir
b. Sistematis
: berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan
sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis.
c. Koheren
: diantara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang bertentangan
dan tersusun secara logis
d. Rasional
: mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah
logika)
e. Komprehensif
: berfikir tentang sesuatu dari berbagai sudut (multidimensi).
f.
Radikal : berfikir
secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai pada tingkatan esensi yang
sedalam-dalamnya
g. Universal
: muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan
manusia secara keseluruhan
* Berfilsafat atau berfikir filsafat
bukanlah sembarang berfikir tapi berfikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah
tertentu secara disiplin dan mendalam. Pada dasarnya manusia adalah homo
sapien, hal ini tidak serta merta semua manusia menjadi Filsuf, sebab
berfikir filsafat memerlukan latihan dan pembiasaan yang terus menerus dalam
kegiatan berfikir sehingga setiap masalah/substansi mendapat pencermatan yang
mendalam untuk mencapai kebenaran.
Bila dilihat dari aktivitasnya filsafat
merupakan suatu cara berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana
syarat-syarat berfikir yang disebut berfilsafat yaitu :
a)
Berfikir dengan teliti,
b)
Berfikir menurut aturan yang pasti.
Dua ciri tersebut menandakan berfikir yang
insaf, dan berfikir yang demikianlah yang disebut berfilsafat. Sementara itu Sidi
Gazalba (1976) menyatakan bahwa ciri ber-Filsafat atau berfikir Filsafat
adalah : radikal, sistematik, dan universal.
Radikal
bermakna berfikir sampai ke akar-akarnya (Radix artinya akar), tidak
tanggung-tanggung sampai dengan berbagai konsekwensinya dengan tidak
terbelenggu oleh berbagai pemikiran yang sudah diterima umum,
Sistematik
artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional
dan dapat dipertanggungjawabkan,
*Sudarto
(1996) menyatakan bahwa ciri-ciri
berfikir Filsafat adalah :
Metodis :
menggunakan metode, cara, yang lazim digunakan oleh filsuf (akhli filsafat)
dalam proses berfikir
Sistematis
: berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan
sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis.
Koheren : diantara
unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang bertentangan dan
tersusun secara logis
Rasional : mendasarkan
pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah logika)
Komprehensif
: berfikir tentang sesuatu dari berbagai sudut (multidimensi).
Radikal : berfikir
secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai pada tingkatan esensi yang
sedalam-dalamnya
Universal : muatan
kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan manusia
secara keseluruhan
Berfilsafat atau berfikir filsafat bukanlah
sembarang berfikir tapi berfikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu
secara disiplin dan mendalam. Pada dasarnya manusia adalah homo sapien,
hal ini tidak serta merta semua manusia menjadi Filsuf, sebab berfikir filsafat
memerlukan latihan dan pembiasaan yang terus menerus dalam kegiatan berfikir
sehingga setiap masalah/substansi mendapat pencermatan yang mendalam untuk
mencapai kebenaran jawaban dengan cara yang benar sebagai manifestasi kecintaan
pada kebenaran.
C.OBJEK FILSAFAT
Pada dasarnya filsafat atau berfilsafat
bukanlah sesuatu yang asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari, karena
segala sesuatu yang ada dan yang mungkin serta dapat difikirkan bisa menjadi
objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna
mencapai kebenaran.
Louis
Kattsoff ;lapangan kerja filsafat cukup luas:
meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui
manusia,
Langeveld (1955): filsafat itu
berpangkal pada pemikiran secara radikal dan menurut system.
Mulder (1966); tiap-tiap manusia
yang mulai berfikir tentang diri sendiri dan tentang tempat-tempatnya dalam
dunia akan menghadapi beberapa persoalan
yang begitu penting, sehingga persoalan-persoalan itu boleh diberi nama
persoalan-persoalan pokok yaitu :
1) Adakah Allah dan siapakan
Allah itu ?,
2) apa
dan siapakah manusia ?,
3)
Apakah hakekat segala realitas,
4.apakah maknanya, dan apakah intisarinya ?.
L.
E.C. Ewing; dalam bukunya Fundamental Questions of
Philosophy (1962) menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara
tersirat menunjukan objek filsafat)
ialah : Truth (kebenaran),
Matter (materi), Mind (pikiran),
*The Relation of matter and mind (hubungan
antara materi dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause
(sebab-sebab), Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism (serba tunggal
lawan serba jamak), dan God (Tuhan) Kesimpulan objek filsafat adalah segala
sesuatu yang wujud dalam sudut pandang dan kajian yang mendalam (radikal). Secara sistematis para akhli membagi objek
filsafat ke dalam objek material dan obyek formal. Obyek material adalah objek
yang secara wujudnya dapat dijadikan
bahan telaahan dalam berfikir, sedangkan obyek formal adalah objek yang menyangkut
sudut pandang dalam melihat obyek material tertentu.
Endang Saefudin Anshori (1981);
segala sesuatu yang berwujud, yang pada garis besarnya dapat dibagi
atas tiga persoalan pokok yaitu :
1). Hakekat Tuhan; 2). Hakekat Alam; dan
3). Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari
keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian
objek material filsafat mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang
dapat difikirkan oleh manusia, sedangkan objek formal filsafat menggambarkan
tentang cara dan sifat berfikir terhadap objek material tersebut, dengan kata
lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang yang digunakan dalam
memikirkan objek material filsafat.
D.SISTIMATIKA
FILSAFAT
Bidang-bidang kajian/sistimatika filsafat
antara lain adalah :
1.
Ontologi. Bidang filsafat yang meneliti hakikat
wujud/ada (on = being/ada; logos = pemikiran/ ilmu/teori).
2.
Epistemologi. Filsafat yang menyelidiki tentang sumber,
syarat serta proses terjadinya pengetahuan (episteme = pengetahuan/knowledge;
logos = ilmu/teori/pemikiran)
3.
Axiologi. Bidang filsafat yang menelaah tentang
hakikat nilai-nilai (axios = value; logos = teori/ilmu/pemikiran)
Gahral
Adian, Pendekatan filsafat melalui
sistimatika dapat dilakukan mengacu
pada tiga pernyataan yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yaitu
1.
Apa yang dapat saya
ketahui ?
2.
Apa yang dapat saya harapkan ?
3.
Apa yang dapat saya lakukan ?
ketiga pertanyaan tersebut menghasilkan tiga wilayah besar filsafat yaitu wilayah pengetahuan,
wilayah ada, dan wilayah nilai. Ketiga wilayah besar tersebut kemudian dibagi
lagi kedalam wilayah-wilayah bagian yang lebih spesifik. Wilayah nilai mencakup
nilai etika (kebaikan) dan nilai estetika (keindahan), wilayah Ada
dikelompokan ke dalam Ontologi dan Metafisika, dan wilayah
pengetahuan dibagi ke dalam empat wilayah yaitu filsafat Ilmu,
Epistemologi, Metodologi, dan
Logika. lebih lanjut ketiga
wilayah tersebut diskemakan sbb :
ONTOLOGI METAFISIKA
FILSAFAT ILMU
ETIKA
EPISTEMOLOGI
METODOLOGI
LOGIKA
ESTETIKA
Gambar
2.1. Skema Wilayah Filsafat
E.CABANG-CABANG FILSAFAT
Dengan memahami Bidang-bidang
kajian/sistimatika filsafat, nampak bahwa betapa luas cakupan filsafat
mengingat segala sesuatu yang ada dapat dijadikan substansi bagi pemikiran
filsafat, namun demikian dalam perkembangannya para akhli mencoba mengelompokan
cabang-cabang Filsafat kedalam beberapa pengelompokan sehingga nampak lebih
fokus dan sistematis. Pencabangan ini pada dasarnya merupakan perkembangan
selanjutnya dari pembidangan/sistematika filsafat, seiring makin berkembangnya
pemikiran manusia dalam melihat substansi objek material filsafat dengan titik
tekan penelaahan yang bervariasi. Berikut ini akan dikemukakan pendapat beberapa
pakar tentang cabang-cabang filsafat.
Plato (427 – 347 S.M). membedakan lapangan atau bidang-bidang
Filsafat kedalam : 1) Dialektika (yang
mengandung persoalan idea-idea atau pengertian-pengertian umum), 2) Fisika
(yang mengandung persoalan dunia materi), 3) Etika (yang mengandung persoalan
baik dan buruk).
1. Aristoteles (382 – 322
S.M).berpendapat bahwa Filsafat dapat dibagi ke dalam empat cabang yaitu :
a. Logika.
Merupakan ilmu pendahuluan bagi Filsafat
b.
Filsafat Teoritis.
Yang mencakup tiga bidang: 1) Fisika, 2) Matematika, 3) Metafisika.
c.
Filsafat Praktis.
Mencakup tiga bidang yaitu 1) Etika, 2) Ekonomi, 3) Politik.
d. Poetika
(kesenian)
3. Al
Kindi. Membagi Filsafat ke dalam tiga bidang
yaitu :
a. Ilmu
Thabiiyat (Fisika)--merupakan tingkatan terendah
b. Ilmu Riyadhi
(matematika)—merupakan tingkatan menengah
c.
Ilmu Rububiyat
(Ketuhanan)—merupakan tingkatan tertinggi
4.
Al Farabi. Membagi Filsafat ke dalam dua bagian
yaitu :
a.
Filsafat Teori. Meliputi
matematika, Fisika, dan Metafisika.
b.
Filsafat Praktis. Meliputi etika dan politik
5. H.
De Vos. Menggolongkan Filsafat ke dalam :
a.
Metafisika (pemikiran di luar kebendaan)
b.
Logika
(cara berfikir benar)
c.
Ajaran
tentang Ilmu Pengetahuan
d.
Filsafat
Alam
e.
Filsafat
Kebudayaan
f.
Filsafat
sejarah
g.
Etika (masalah baik dan buruk)
h.
Estetika
(masalah keindahan, seni)
i.
Antropologi (masalah
yang berkaitan dengan manusia)
6.
Hasbullah Bakry (1978). Menyatakan bahwa di zaman modern
ini pembagian/cabang filsafat terdiri
a.
Filsafat Teoritis yang
terdiri dari: logika, Metafisika, filsafat alam, filsafat manusia.
b.
Filsafat praktis.
Terdiri dari : etika, filsafat Agama, filsafat kebudayaan
7.
Prof.H.Ismaun (2000). Membagi cabang-cabang Filsafat
sebagai berikut :
a.
Epistemologi
(filsafat pengetahuan)
b.
Etika
(filsafat moral.
c.
Estetika
(filsafat seni)
d.
Metafisika
e.
Politik
(filsafat pemerintahan/negara)
f.
Filsafat
Agama
g.
Filsafat
pendidikan
h.
Filsafat
ilmu
i.
Filsafat
hukum
j.
Filsafat
sejarah
k. Filsafat
matematika
8. Richard
A. Hopkin. Membahas Filsafat ke dalam tujuh cabang
penelaahan yaitu :
a. Etics (etika)
b. Political
Philosophy (filsafat politik)
c. Metaphisics
(metafisika)
d. Philosophy of
Religion (filsafat Agama)
e. Theory of
Knowledge (teori pengetahuan)
f.
Logics (logika)
9. Alburey
Castell. Membagi filsafat ke dalam :
a.Ketuhanan
(theological problem)
b.Metafisika (methaphysical problem)
c.Epistemologi (epistemological problem)
e.Etika (ethical problem)
f.Politik (political problem)
g.Sejarah (historical problem)
F.PENDEKATAN DALAM
MEMPELAJARI FILSAFAT
Upaya memahami apa yang dimaksud dengan
filsafat dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, secara umum, pendekatan
yang diambil dapat dikategorikan berdasarkan sudut pandang terhadap filsafat,
yakni filsafat sebagai produk dan
filsafat sebagai proses. Sebagai produk artinya melihat filsafat sebagai
kumpulan pemikiran dan pendapat yang dikemukakan oleh filsuf, sedangkan sebagai
proses, filsafat sebagai suatu
bentuk/cara berfikir yang sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir filsafat.
Donny Gahral Adian (2002),
terdapat empat pendekatan dalam melihat/memahami filsafat yaitu:
A.
Pendekatan
Definisi.
B.
Pendekatan
Sistimatika.
C. Pendekatan Tokoh
D.
Pendekatan
Sejarah
Pendekatan Definisi.
Dalam pendekatan ini filsafat dicoba difahami melalui berbagai definisi yang dikemukakan oleh para akhli, dan
dalam hubungan ini penelusuran asal kata menjadi penting, mengingat kata
filsafat itu sendiri pada dasarnya merupakan kristalisasi/representasi dari
konsep-konsep yang terdapat dalam definisi itu sendiri, sehingga pemahaman atas
kata filsafat itu sendiri akan sangat membantu dalam memahami definisi
filsafat.
Pendekatan
Sistimatika. Objek material Filsafat adalah serwa yang
ada dengan berbagai variasi substansi dan tingkatan. Objek material ini bisa ditelaah dari berbagai sudut sesuai dengan
fokus keterangan yang diinginkan. Variasi fokus telaahan yang mengacu pada
objek formal melahirkan berbagai bidang kajian dalam filsafat yang
menggambarkan sistimatika,
Pendekatan Tokoh.
Pada umumnya para filsuf jarang membahas secara tuntas seluruh wilayah
filsafat, seorang filsuf biasanya mempunyai fokus utama dalam pemikiran
filsafatnya. Dalam pendekatan ini
seseorang mencoba mendalami filsafat melalui penelaahan pada
pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para Filsuf, yang terkadang mempunyai
kekhasan tersendiri, sehingga membentuk suatu aliran filsafat tertentu, oleh
karena itu pendekatan tokoh juga dapat dikelompokan sebagai pendekatan Aliran,
meskipun tidak semua Filsuf memiliki aliran tersendiri.
Pendekatan Sejarah.
Pendekatan ini berusaha memahami filsafat dengan melihat aspek sejarah dan
perkembangan pemikiran filsafat dari waktu ke waktu dengan melihat
kecenderungan-kecenderungan umum sesuai dengan semangat zamannya, kemudian kemudian dilakukan periodisasi untuk melihat
perkembangan pemikiran filsafat secara kronologis.
Dari pendekatan-pendekatan tersebut di
atas, nampak sekali bahwa untuk memahami filsafat seseorang dapat memasukinya
melalui empat pintu, namun demikian bagi pemula, pintu-pintu tersebut harus
dilalui secara terurut, mengingat pintu pendekatan Tokoh dan pendekatan
Historis perlu didasari dengan pemahaman awal tentang filsafat yang dapat
diperoleh melalui pintu pendekatan definisi dan pendekatan sistematika.
G.SUDUT PANDANG TERHADAP FILSAFAT
Terdapat tiga sudut pandang dalam melihat
Filsafat, sudut pandang ini menggambarkan variasi pemahaman dalam menggunakan
kata Filsafat, sehingga dalam penggunaannya mempunyai konotasi yang berbeda.
Adapun sudut pandang tersebut adalah :
1.
Filsafat
sebagai metode berfikir (Philosophy as a method of thought)
2.
Filsafat
sebagai pandangan hidup (Philosophy as a way of life)
3.
Filsafat
sebagai Ilmu (Philosophy as a science)
Filsafat
sebagai metode berfikir berarti filsafat dipandang sebagai suatu
cara manusia dalam memikirkan tentang segala sesuatu secara radikal dan
menyeluruh, Filsafat sebagai pandangan
hidup mengacu pada suatu keyakinan yang menjadi dasar dalam kehidupan baik
intelektual, emosional, maupun praktikal, sedangkan filsafat sebagai Ilmu artinya melihat filsafat sebagai suatu
disiplin ilmu yang mempunyai karakteristik yang khas sesuai dengan sifat suatu
ilmu.
PERTANYAAN
UNTUK BAHAN DISKUSI
1.
jelaskan
pengertian filsafat?
2.
jelaskan pendekatan-pendekatan dalam mempelajari
filsafat?
3.
jelaskan
metode berfikir filsafat?
4.
apa
yang dimaksud dengan berfikir radikal?
5.
jelaskan
objek filsafat?
6.
jelaskan apa yang dimaksud dengan positivisme?
7.
jelaskan bagaimana pendapat Immanuel Kant tentang
rasio
dan pengalaman?
8.
apakah filsafat diperlukan bagi kehidupan manusia, coba jelaskan?
0 komentar:
Posting Komentar